“Seminggu terakhir ini milis IndoKL diwarnai berita seputar perlakuan oknum depnaker dan imigrasi yang bertugas di bandara terutama Bandara Soekarno Hatta Jakarta. Ungkapan kemarahan dari teman-teman yang melihat dan mendengar perlakuan tidak manusiawi oknum-oknum itu kepada bangsa sendiri – para TKI yang baru pulang dari luar negeri – mengingatkan saya pada apa yang dialami oleh suamiku ketika mengantar asisten kami pulang kampung. Seperti biasa petugas depnaker yang mejeng di sekitar counter imigrasi berusaha ‘menciduk’ dan memisahkan asisten kami ke jalur khusus TKI. Untungnya suami dulu bekas preman kampung rambutan (he..he..he.. jangan ngambeg ya boss), so diceramahilah petugas tadi sampai dibacain tu tulisan yang ada di kaos mereka “membantu TKI tanpa memungut biaya”. Udah jelas asisten kami pulang ama pemberi kerjanya (kan ada nama suami di visa kerjanya) kok ya masih dipisah-pisahin. Slogan “pahlawan devisa” cuma isapan jempol.
Kemarin peristiwa kecil juga terjadi di bandara Adi Sucipto ketika saya mengantar asisten kembali ke Malaysia (kebetulan dia berangkat sendiri). Dengan baik-baik saya bertanya dimana beli tiket masuk ke counter check in karena saya mau membantu asisten saya ini mengurus bebas fiskal (dia baru pertama kali pergi sendiri). Dengan ketus si penjaga pintu bertanya “Anda agen atau apa?” masih sabar saya jawab, “Saya pemberikerjanya.” “O… majikan?” Duh.. kalau denger istilah majikan kok kupingku gatal ya. Kesannya perbudakan gitu. “Pengantar cuma sampai disini!” jawabnya tanpa menatap wajahku. Kata2 itu diulangnya beberapa kali. Nah..kesempatan nih.. bahasa tubuh orang yang lagi krisis kepercayaan diri, langsung aku samber “Pak, dia ini baru pertama kali pergi sendiri tanpa saya, kalau nanti di dalam dipermainkan orang bagaimana? Apa bapak senang kalau melihat orang yang sudah susah-susah cari rejeki begini dapat kesusahan?” Suara sengaja disetel seramah mungkin. Yup.. kayaknya sisi moralnya kena. “Ya sudah kalau gitu bilang sama orang yang di pintu keberangkatan international bahwa saya Pak M*****O” sudah memberi ijin ibu masuk. Karena tanpa ijin saya ibu tidak boleh masuk. Itu ruang steril.” ujarnya dengan dagu dinaikkan beberapa senti. Wah.. wah.. wah… baru punya kuasa di pintu masuk aja sombongnya dah begini, gimana kalau bapak ini jadi bupati atau presiden ya? OK deh.. mari kita gosok nafsu kuasanya. “Iya deh pak, nanti saya sebut nama bapak.” meskipun hatiku menahan tawa tapi suara kubuat semantap mungkin. Di dalam semua urusan lancar sampai akhirnya di depan gerbang imigrasi. Si petugas mulai cari gara-gara lagi. “Kenapa ini paspornya 48 lembar! Ini pelanggaran!” bentaknya galak. Sebelumnya cara memanggilnyapun sangat tidak sopan. “Memangnya kenapa? Ada masalah?” nadaku mulai tinggi. Lalu dia bla.. bla… bla.. tentang paspor TKI yang 24 halaman dan konsekuensi pelanggarannya tetapi nadanya ragu-ragu. Selesai bla.. bla..bla.. gantian saya bla.. bla..bla tentang bedanya TKI yang diurus agen dengan yang tidak. Mukanya yang tadinya ketus mengendor. O.. jadi ibu sekarang tinggal dimana? Suaranya sudah berubah 180 derajat. Masya Allah.. kok ya mesti begini. Apa nggak bisa nanya baik-baik dan sopan?
Herannya kenapa mereka hanya berani sama yang lemah, sama TKI di sektor informal or orang-orang yang meraka yakin pengetahuannya kurang dari mereka. Kenapa kalau kita hadapi dengan tegas mereka langsung mengkeret? Mengapa mereka tidak berselera berbuat reseh pada TKI kantoran? Fenomena apa ini? Apakah fenomena “rendah diri”? atau pengecut? Hanya berani kepada yang lemah. Pernah liat ada antrian warna negara sendiri lebih lambat dari warga asing di bandara? Datang saja ke Adi Soemarmo, warga sendiri ditanyain sampai ke hal-hal yang tidak bermutu seperti “kenapa pasportmu baru?” sedangkan dengan warga asing mereka merundu-runduk menebar senyuman. Apa karena tidak bisa berbahasa asing jadi tidak berani tanya-tanya? Fenomena mental terjajah! Kalau mau ditulis semua apa yang saya dengar dan saya lihat, bisa-bisa berlembar-lebar kertas dihabiskan. Sebenarnya fakta-fakta seperti ini sudah banyak diungkap melalui media masa.
Lalu bagaimana dengan oknum-oknum yang suka memeras TKI kita di bandara Soekarno Hatta? Fenomena apa lagikah ini? Inikah fenomena rakus harta dan dengki? Tidak suka bila orang lain mendapatkan rejeki yang sudah susah payah mereka perjuangkan? Merasa harus mendapat bagian dari apa yang sama sekali tidak mereka usahakan. Inilah gambaran orang dengki menurut Al Quran, “Bila kamu memperoleh kebaikan, maka hal itu menyedihkan mereka, dan kalau kamu ditimpa kesusahan maka mereka girang karenanya.” (QS. Ali Imran: 120). Acchh… sedih hatiku melihat orang-orang seperti ini. Orang-orang yang tega menyusahkan bangsanya sendiri. Lebih-lebih bila mereka melakukannya di hadapan warga asing yang baru tiba di Indonesia. Pantas saja banyak bangsaku yang tidak dihargai di Negara lain. Ibarat anak, bila bapak kandungnya saja tidak menyayangi dan menghargai anaknya, bagaimana tetangga akan sayang dan menghargainya?
Lalu harus bagaimana? Sudah banyak media yang membahas fenomena ini tetapi tak juga membuat jera. Saya yakin sudah banyak teman-teman yang telah menegur mereka tetapi tak juga membuat mereka malu. Apakah harus jadi anggota legistlatif atau jadi pejabat dulu untuk memperbaiki keadaan ini? (Kalau saya mencalonkan ada yang mendukung ndak ya he..he…he…)
Renungan :
“Melepaskan dua ekor srigala lapar di kandang kambing tidak lebih besar bahayanya di bandingkan dengan seorang muslim yang rakus terhadap harta dan dengki. Sesungguhnya dengki itu memakan habis kebaikan, seperti api melalap habis kayu”. (HR. At-Tarmidzi)
Miris juga ya baca cerita yg dibandara,
Memang kebanyakan masih gitu.
Mungkin itu juga akibat krn mereka secara emosi tertekan ya?