Anak Peniru Ulung

Mbak Eka Mardila adalah salah satu alumni Enlightening Parenting yang sekarang ini menjadi salah satu tim sharing.
Beliau berkisah tentang perubahan pengasuhannya dari yang dulunya bentak-bentak, kadang melakukan tindakan fisik yang akhirnya ditiru oleh putrinya. Saat ini mbak Eka yang account instagram nya bernama @ekalucu banyak menginspirasi parents lain.

4 SIKAP YANG MENGHANCURKAN PERNIKAHAN

Setiap orang tentu menginginkan pernikahan yang bahagia, less conflict, jika ada masalah mudah terselesaikan, bukankah begitu?

Menurut John Gottman PhD, yang selama 40 tahun melakukan studi tentang relationship, ada 4 sikap yang menghancurkan sebuah hubungan, dan ternyata… ada kemiripan dengan beberapa kesalahan pengasuhan yang ada di buku Enlightening Parenting (EP)
Hmmm.. artinya kebiasaan melakukan kesalahan pengasuhan pada anak juga bisa menyebabkan kesalahan dalam memperlakukan pasangan. Demikian pula sebaliknya, komunikasi yang tidak harmonis antara suami istri akan berimbas pada pengasuhan anak.
Hayoo.. siapa yang kalau kesal pada pasangan tapi takut konflik lalu anak jadi sasaran? … tunjuk jari…. 🙂
Maka, menyembuhkan diri dari kebiasaab melakukan kesalahan pengasuhan, insyaaAllah juga memperbaiki kualitas hubungan dengan pasangan. 
4 Sikap tersebut adalah :
1. Criticism : suka mengkritik (fokus pada kekurangan) 
2. Contempt : menghina, baik secara verbal, fisik atau menunjukkan ekspresi merendahkan (ada unsur labelling, yang meskipun dalam hati akan tampak dalam ekpresi) 
3. Defensiveness : defensif (tidak mengambil tanggung jawab)
4. Stonewalling : mengabaikan 

Bagi yang sudah kenal EP insyaaAllah mudah menemukan ramuan antidot nya. Contohnya seperti di bawah ini

1. Menjadi detektif kebaikan.

Kalau ingin menyatakan keberatan bukan dimulai dengan “kamu itu. …”. Tetapi dengan kalimat “Aku merasa…”
Contoh pasangan terlambat pulang, instead of mengatakan
“kamu ini selalu pulang terlambat.. kamu ngga peduli perasaanku.. kemana aja. sama siapa… bla.. bla.. bla…” 
Menjadi 
“Aku kuatir kl kamu belum pulang jam sekian, lain kali telpon ya..”

2. Again detektif kebaikan, stop labelling, apalagi pakai kata-kata yang merendahkan

“Dasar kamu ini.. turunan ya dari..” “Gitu aja kok ngga ngerti sih..” “Duh ini kan tanggungjawabmu….”

Tapi apresiasi kebaikannya,

“Aku suka lho kalau kamu melakukan… seperti waktu….” (jika no 1 dan 2 digabung, mirip menegur efektif dalam EP kan)

3. Mudah dinasehati , empati dan mudah minta maaf lalu perbaiki

4. Kalau ngga ngerti mau ngomong apa atau takut konflik ya peluk aja dulu, minta maaf, pegang tangannya, “Beri waktu aku berpikir ya, aku bingung mau ngomong apa”. 
Sebaliknya kalau pasangan udah bingung mau ngomong apa, berhenti dulu deh ngomongnya, menegur itu yang efektif cukup 1 menit saja ala EP. Kalau kepanjangan udah kalimat-kalimat yang selebihnya sudah terhapus atau diblokir oleh pikiran pendengarnya 😂

Dengan mengetahui 4 sikap yang merusak sebuah hubungan, masing-masing dari kita bisa melakukan assessment atau penilaian diri, apa yang selama ini sudah kita lakukan dan bagaimana memperbaikinya. Fokuslah memperbaiki diri bukan menyodorkan artikel ini ke pasangan untuk menyuruh pasangan memperbaiki diri. InsyaaAllah, tidak ada orang yang imun pada kebaikan. Bukankah tidak akan disayangi orang yang tidak menyayangi?

Di dalam surah Al Baqarah 187 disebutkan “hunna libasun lakum wa antum libasun lahunna”, Libas dalam Al Qur’an meliputi beberapa makna yaitu pakaian (yang berfungsi sebagai penutup dan perhiasan), ketenangan, percampuran, kesenangan dan perbuatan baik.
Berfungsi menjadi pakaian yang menutupi aib dan melengkapi kelemahannya, menjadi perhiasan yang memperindah dirinya dan pribadinya, memberikan ketenangan (ngga bikin sumpek), bergaul dengan indah dan menggelorakan, being happy and fun together dan perlakukan dengan santun dan mulia.

Bukankan tuntunannya berimbang antara keduanya? Di dalam islam, para istri diperintahkan mengutamakan suami dan para suamipun dimotivasi oleh Rasulullah SAW dengan sabda beliau bahwa sebaik-baik lelaki adalah yang paling baik kepada istrinya. Sehingga tumbuh rasa saling empati.

Lalu bagaimana kalau hubungan sudah mendingin, ada cara untuk mempebaikinya? Tentu. Hentikan melakukan 4 sikap di atas, bangun kembali kedekatan seperti yang dilakukan sahabat saya mbak Juliana Dewi di artikelnya yang ini http://www.julianadewi.com/2017/01/cara-membangun-kemesraan-suami-istri-dengan-5-pilar-nlp.html

Indahnya kehidupan pernikahan tidak hanya membahagiakan di dunia dan insyaaAllah tuaian baiknya menunggu di akhirat.


Handling Bullies

Banyak sekali pertanyaan mengenai cara menangani perilaku bullying yang muncul baik di kelas-kelas kami maupun di forum-forum parenting yang kami kelola. Demikian pula simpang siung anjuran tentang penanganan semakin membuat orangtua bingung. Mana yang harus diikuti.
Mari dimulai dengan memahami dulu tentang bully. Bully dalam bahasa Indonesia disebut perundungan, tetapi dalam artikel ini saya gunakan kata buli saja agar singkat.
Buli dilakusecara umum terbagi menjadi 3 kategori

  • Verbal : yaitu ucapan yang menyakitkan, meledek, memanggil dengan julukan, menghina, mengancam,
  • Mental : Mengabaikan, mengucilkan, menyebarkan berita yang membuat seseorang dimusuhi, menjendilkan :D, dll
  • Fisik : Memukul, menendang, mencubit, dll.

Bully dilakukan secara SADAR. Artinya jika tindakan mendorong itu dilakukan oleh anak usia 2 tahun yang masih dalam tahap latihan sensori atau dilakukan oleh ABK yang belum paham kekuatan menyentuh dan mendorong, maka jangan dengan mudah kita mengatakan kepada yang mendorong maupun yang didorong “Ih.. kamu dibuli lhoo” “Ih ini anak kecil-kecil sudah jadi pembuli” . Dalam hal ini justru si pembuli sesungguhnya adalah yang komentar itu.

Di banyak keluarga justru pembuli pertama anak-anak adalah orang tuanya sendiri, kadang verbal dengan labelling atau menghardik, kadang Mental dengan mengabaikan, sering juga fisik, bahkan ada yang paket lengkap 3 kategori sekaligus. Tentu orangtua sebagai sosok dewasa sudah pasti SADAR ketika melakukannya. Anak yang sudah dibuli terlebih dahulu di rumah sangat besar kecenderungannya untuk jadi pelaku maupun korban bullies di sekolah. Penelitian Renae D. Duncan (1999) dari Murray State University menyimpulkan 69% anak yang dibuli di sekolah, adalah anak yang mendapatkan kekerasan di rumah. Tidak mengherankan memang, karena anak-anak yang sering dilabel, dikritisi, dihardik atau disakiti di rumah akan datang ke sekolah dengan penampakan 2 jenis, yaitu tidak percaya diri atau wajah tambeng dan penuh dendam. Inilah yang kemudian berkembang menjadi korban maupun pelaku buli. Pembuli mengenali sasaran yang bisa dibuli. Pembuli pilih-pilih dan melakukan coba-coba dulu. Anak yang berjalan dengan tegak dan pandangan yang penuh percaya tetapi tidak sombong, jarang dijadikan sasaran pembuli.

Anehnya, orangtua yang membuli anak di rumah sangat tidak terima ketika anak diperlakukan sama di sekolah bukan? Seolah lupa bahwa sumbernya berasal dari rumah.

Maka, LANGKAH PERTAMA untuk mencegah dan mengatasi buli adalah, Perlakukan anak-anak kita dengan respectful di rumah. Dengan memperlakukan mereka dengan respectful sesungguhnya juga sekaligus sedang mendapat contoh akhlaq yang baik dan akan tumbuh menjadi anak yang santun dan percaya diri. Hal ini selaras dengan sabda Rasulullah SAW

“Muliakanlah anak-anakmu dan perbaikilah adab mereka.” (riwayat Ibnu Majah).

LANGKAH KEDUA, pelajari aturan di lingkungan tempat anak berinteraksi. Untuk memperjelas, kita umpamakan saja sekolah. Tanyakan apakah ada aturan yang jelas tentang handling bullies . Jika tidak punya sampaikan kepada sekolah bahwa anda akan membuat standar penanganan buli, sosialisasikan pada pihak sekolah dan lebih baik lagi jika disepakati sebagai aturan sekolah. Lebih bermanfaat daripada sekedar kesal karena sekolah tidak punya aturan penanganan buli bukan?

LANGKAH KETIGA, Briefing dan Role Playing. Beri anak penjelasan mengenai hal-hal berikut ini
1. Definisi perilaku buli seperti yang sudah disebutkan di atas, supaya anak juga tidak epes me’er, ditowel dikit buli, disenggol dikit buli, dipanggil dengan nada tinggi dikit buli. Orangtua juga tidak perlu reaktif supaya anak juga tidak baperan.
2. Beritahu tahap-tahap menyikapi buli (saya attach video Rangga saat diminta menceritakan kembali materi briefing dan alhamdulillah tidak pernah dibuli oleh siapapun):

  • Abaikan (Ignore) : Jika masih tahap coba-coba, biasanya berbentuk verbal seperti kata Ciee.. ciee… , memasangkan dengan si fulan, ledekan ringan dan sejenisnya, ajarkan anak untuk mengabaikan dengan wajah tetap percaya diri dan tersenyum. Pembuli suka dengan reaksi berlebihan, wajah merengut, mata berkaca-kaca dan tangisan. Ajarkan anak teknik disosiasi (diajarkan di kelas Enlightening Parenting)
  • Tegur dengan Tegas (Stand Up) : Katakan dengan tegas, STOP it! Hentikan! Dengan tatapan yang mantap. Ini dilakukan jika setelah diabaikan perilaku yang sama masih berulang. Jika sudah berupa kontak fisik, tangkap tangannya (bukan membalas pukul) tekan ke bawah sambil menegur dengan tegas “Be nice to other”. Mengapa demikian? karena pesan yang disampaikan kepada pembuli bukan. Aku balas kau!!! alias Dendam, Bukan pula main hakim sendiri, bisa rusak dunia ini, Tetapii.. You are powerless. Kamu ngga akan menang dengan berbuat buruk, karena energi emosi mudah dilemahkan kawan. Jika kategori mental ajarkan anak berani melakukan klarifikasi. Pada tahap 2 ini ditutup dengan laporan kepada Guru dan ortu.
  • Laporkan kepada Guru. Ajarkan anak untuk mencatat setiap laporan. tanggal berapa dan nama guru yang dilapori. Biarkan pihak sekolah melakukan tugasnya untuk menegur.
  • Orangtua menemui pihak sekolah. Jika hingga laporan ke 3 masih berulang maka temui pihak sekolah untuk difasilitasi berdiskusi bersama orangtua pembuli. Jika pembuli juga melakukan hal yang sama kepada anak lain, upayakan laporan bersama agar sekolah dan orangtua pembuli melakukan tindakan kuratif nyata seperti skorsing atau konseling keluarga
  • Jika masuk ke level kriminal, seperti pengeroyokan, laporkan kepada polisi.

3. Latih anak menghadapi berbagai situasi ini secara role playing di rumah, karena sikap dan kebiasaan tidak terbentuk melalui nasehat tetapi melalui latihan.

LANGKAH KEEMPAT. Sebarkan kasih sayang. “Siapa yang menyayangi, dia akan disayangi”. Jangan pernah mengajarkan anak untuk membalas pembuli, tetapi justru menyapa dengan ramah, menanyakan kabar, sesekali berbagi bekal tetapi bukan dengan niat menyuap atau nyogok. Berbagi kepada semuanya, baik yang bersikap baik maupun yang tidak. Latih anak untuk memuji efektif temannya yang bersikap baik. Menjadi detektif kebaikan. Sesekali undang teman-teman anak untuk bermain di rumah termasuk yang suka membuli dan perlakukan mereka dengan kasih sayang. Pada umumnya pelaku buli ini kering kasih sayang. Tidak ada orang yang imun pada kasih sayang, karena kasih sayang itu fitrah. Jika dihidupkan dan disirami, maka mekarlah ia.

So, Handling Bullies? insyaaAllah mudah…
“Sayangilah yang ada di bumi, niscaya yang ada di langit akan menyayangimu”.




Memilih Sekolah Dasar

Sekolah dasar, seperti namanya, akan menjadi kancah yang memberikan  contoh dasar bagi perilaku di luar rumah bagi anak. Anak akan tinggal di sekolah paling tidak 5 jam setiap hari.  Di kancah ini anak akan melihat interaksi antar anak sebaya, interaksi antara orang dewasa dan anak-anak, juga interaksi antar orang dewasa. Lima jam bukan waktu yang sebentar, sedangkan kita semua tahu bahwa manusia belajar dengan cara meniru dan anak-anak adalah peniru ulung. Sekolah menjadi tempat bagi anak-anak untuk membentuk pola perilaku, mewujudkan potensi menjadi kompetensi, mengintenalisasi nilai-nilai, identitas diri, bahkan mungkin juga spiritual yang paling besar pengaruhnya setelah keluarga.

Berikut ini adalah hal-hal yang perlu diperhatikan dalam memilih sekolah terutama Sekolah Dasar.

1. Perhatikan perilaku (akhlaq) guru-gurunya.

2. Perhatikan ekspresi dan para murid

3. Perhatikan karya-karya yang ditempel di sana-sini

4. Pelajari peraturan sekolah dengan seksama.

6. Cari sekolah yang satu Visi dengan anda.

Detail lengkapnya bisa dibaca di buku ini 

Bismillah.. Selamat memilih sekolah….

Melatih Anak Tidur Sendiri Tanpa Frustrasi

Banyak orangtua kesulitan melatih anak tidur sendiri karena sejak awal sudah keliru dalam membiasakan tidur. Pada saat masa menyusui bayi memang amat sangat disarankan untuk tidur sekamar dengan orangtuanya. Baik itu setempat tidur atau di tempat tidur terpisah. Namun jika setempat tidur pastikan jarak cukup aman, atau bisa menggunakan keranjang kain agar terhindar dari  resiko SID (suddent infant death) syndrom karena tertimpa, terjepit tangan, hidung tertutup bantal dan lain-lain.

Mengapa sangat dianjurkan sekamar? Agar kebutuhan ASI terpenuhi dengan optimal, ibu dan ayah bisa bergantian mengambil dan mengembalikan bayi ke tempat tidurnya dengan mudah tanpa harus jauh-jauh ke kamar lain dan ketika anak terbangun untuk minum ASI segera terdengar oleh orangtuanya. Jarak yang dekat, rasa aman dan kebutuhan yang segera dicukupi juga tidak memicu terproduksinya hormon stress yaitu kortisol (JJ. McKenna, 2005 & M. Sunderland, 2016). Sebetulnya anak yang tenang dan nyaman akan bisa terlelap lagi sendiri saat bangun ringan bukan karena haus atau basah tetapi orang tua punya kecenderungan menepuk-nepuk agar cepat lelap kembali. Tepukan ini akhirnya menjadi syarat untuk tidur (disebut conditional kalau menggunakan bahasa Pak Pavlov atau anchor kalau kata om Bandler), padahal sebetulnya tidak harus demikian. Dr Harvey Karp justru menganjurkan dibedong atau swaddled (silahkan buka video tutorialnya) untuk membantu anak mendapatkan rasa nyaman.

Setelah anak tidak lagi disusui (2 tahun), biasakan untuk tidak menunggui anak sampai jatuh tertidur meskipun lokasi tidur masih sekamar dan usahakan sudah beda tempat tidur. Orang tua boleh saja membacakan cerita sebelum tidur, membiasakan cuci otak-cuci hati yaitu mensyukuri semua yang terjadi hari ini dan memaafkan semua yang dianggap tidak menyenangkan, memijat atau bersenandung lembut bersama dan lain-lain, tetapi anak bisa menjalani proses terlelap sendiri. Biasanya proses ini tidak akan mengalami kesulitan berarti jika proses awal tadi sudah benar.

Melatih anak tidur sendiri itu yang utama adalah kemampuan anak terlelap sendiri dan mampu kembali tidur saat terbangun di malam hari.

Ah tapi kan malaas mbak, mesti bangun lagi setelah tidur-tiduran sama anak, enakan kan langsung aja ikut tidur, toh masih sekamar ini.  Maka jika merujuk kembali ke buku Enlightening Parenting, salah satu kesalahan terbesar dalam pengasuhan bagian h, yang saya sebutkan sampai 5 kali adalah M-A-L-A-S.

Setelah anak terbiasa tidak menyusu dan bisa terlelap sendiri, baru kemudian persiapkan kamar lain bersama-sama dengan penuh kegembiraan dan rayakan kepindahan ke kamarnya sendiri sebagai sebuah prestasi gilang gemilang. Pindah kamar ini bisa dilakukan di usia 3 tahun ke atas tetapi selambat-lambatnya 7 tahun.

Jika anak belum mampu terlelap sendiri, lalu proses melatih tidur sendiri dimulai  dengan langsung ujug-ujug pindah lokasi ke kamar sendiri, dikelonin sampai tidur lalu ditinggal. Maka, saudara-saudaraa… yang  terjadi adalah…. anak tiap malam ngungsi ke kamar orang tuanya saat terbangun . Kalau dilarang ngungsi, karena kondisi bangun setengah sadar, maka anak nangis kejeer. Ortu ngamuk, malam rungsing, pagi bangun seperti zombie. Siapa yang mengalami, angkat tangaan ☝😁

Tapiii.. tapiii kalau udah terlanjur sering ditemani sampai tidur di tempat tidur yang sama pula, bagaimana dooong, kan waktu tidak bisa diputar kembalii… hedeeuh, ada aja ya pertanyaannya 😀

Kalau sudah terlanjur, saat melatih anak tidur sendiri lakukan urutan seperti berikut

  1. SEPAKATI. Buatlah kesepakatan bahwa ayah/ibu akan  melakukan ritual kegiatan bersama anak sebelum tidur dan anak juga melatih diri terlelap sendiri sehingga kemampuan anak  untuk menenangkan dirinya sendiri semakin baik. Lakukan latihan, pura-pura jam tidur lalu anak ditemani sebentar dan latihan terlelap sendiri, latihan pura-pura bangun malam lalu bisa menenangkan diri sendiri dan lelap lagi. Lalukan latihan dg gembira seolah memang latihan spt ini kereen sekalee.
  2. TEMPAT TIDUR SENDIRI. Pisahkan tempat tidur meski di kamar yang sama. Ngga cukup? Ya ganti pakai 2 kasur yang lebih kecil.
  3. KONSISTEN. Tidak ada cheating day sampai menjadi kebiasaan. Meskipun ayah-ibu yang kadang kangen dan cari gara-gara :D. Ini akan merusak kesepakatan. Dan setiap anak pindah tempat tidur, kembalikan lagi sesuai kesepakatan. Anak fitrahnya tidak suka melanggar kesepakatan kecuali ortunya tukang melanggar.
  4. PERSIAPKAN KAMAR SENDIRI BERSAMA. “Sayang sekarang kamu sudah bisa terlelap sendiri dan bisa manage your self untuk tidur lagi saat bangun artinya kamu sudah layak mendapat bintang eh.. maksudnya mendapat kamar sendiri”…  Lalukan framing, tidur di kamar sendiri itu kereennya luar biasaah. Ritual berkegiatan yang menenangkan sebelum tidur masih bisa dilakukan,  tapi ingat jangan ikut ketiduran di kamar anak 😂. Manfaatkan waktu ini utk memberi nasehat dg cara yg asik, memasukkan value, mengambil hikmah dan cuci otak cuci hati

Bagi yang beragama islam mulai berlakukan adab mengetuk pintu kamar ayah-ibu di 3 waktu yang diperintahkan dalam Surat An-Nur ayat 58 dan 59 ya. Waktu-waktu apa sajakah itu? Silahkan dicari sendiri ya, agar saya tidak melakukan kesalahan pengasuhan menyuapi solusi 😀  😀

Selamat melatih kemandirian anak dengan bahagia..

Enlightening Parenting

%d bloggers like this: