Beberapa kali saya dianjurkan untuk mengkoleksi status-status saya di facebook mengenai parenting. Meskipun belum semuanya, berikut ini beberapa koleksi yang sempat saya jejaki..
—————
Jika anda menyuruh anak tidak berteriak-teriak dengan suara menjerit, anda sedang mengajarkan apa?
Jika anda meminta anak bersabar dengan nada gertakan “sabar dong ahhh”, anda sedang mencontohkan apa?
Jika anda menasehati anak untuk pantang mengeluh sambil berkata “sampai capek mama/papa menasehati kamu”, anda sedang mengajarkan apa?
Jika anda menginginkan anak untuk patuh sedang saran dari pasangan anda bantah melulu, anda sedang membentuk anak jadi seperti apa?
Banyak orang tua ingin anaknya sempurna, sementara dirinya lupa berkaca…
—————
Orang tua kadang mengira bahwa anak-anaknya numpang hidup pada mereka..,
“Ayah sudah pontang-panting cari uang untuk menyekolahkanmu..”
“Kamu sudah diberi fasilitas yang bagus, kok belajarnya cuma begitu-begitu saja..”
Yakinkah kita bahwa rizki yang dititipkan pada kita memang ditujukan pada diri kita dan hasil kerja keras kita? Jangan-jangan rizki itu dititipkanNya karena anak-anak itu lahir di rumah kita.
Jangan-jangan kitalah yang “numpang hidup” dari rizki anak-anak kita…
—————
Dalam kelas parenting saya sering ditanya cara cespleng, manjur dan instant agar anak disiplin, patuh, rajin belajar, rajin ibadah dll..
Kadang kita mengira manusia seperti gadget yang ada tombol on – off untuk dinyalakan dan dihentikan.
Apakah jika anda sudah mengajarkan dengan benar, berkomunikasi dengan konsisten ala hypnotic language pattern yang super keren dan menjadi contoh yang dapat dimodel pasti hasilnya seperti yang anda inginkan? Tidak juga.
Waduuuh…
Seringkali kita lupa bahwa jiwa-jiwa mereka ada dalam genggamanNya.Wah kalau begitu saya cukup berdo’a saja ya.
Belum tentu juga..
Waduuuh…
Karena kelak kita akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang diamanahkan pada kita dan apa yang kita pimpin.
Susah ya? Masa siih…
Bukankah tugas kita adalah ikhlas menyempurnakan ikhtiar dan memohon ridho dan pertolonganNya?
Lalu perlu tidak belajar parenting? Itu pertanyaannya sama dengan, perlu tidak belajar untuk sukses? Perlu tidak ke dokter saat sakit? Perlu tidak bekerja untuk mendapatkan rizki?
(semoga saya tidak dimarahi para trainer yang menjanjikan teknik cespleng, dan tidak juga dimarahi golongan yang sebaliknya… punteen)
—————
Ilmu leadership dan ilmu parenting itu prinsipnya sama, bedanya hanya usia orang yang anda hadapi dan tingkat kekerenan istilah-istilahnya.
Mana yang lebih challenging? Parenting.
Mengapa?
Karena yang satu anak sendiri yang satu lagi anak orang lain, yang efek kerusakan atas kesalahan anda memimpin tidak anda hadapi seumur hidup
—————
Allah tidak pernah menciptakan produk gagal. Jika suatu fungsi dikurangkan, maka akan dilebihkan fungsi yang lain. Tinggal apakah manusia mau berusaha memaksimalkan fungsi-fungsinya.
Beberapa waktu belakangan ini saya mendapat laporan teman-teman yang berhasil terlepas dari berbagai phobia, kebencian, ketergantungan dan pola hidup yang tidak bermanfaat dengan mengoptimalkan fungsi pikiran dan tubuh.
MasyaAllah… Alhamdulillah.
—————
Manusia lahir itu naturally sudah kreatif dan bersemangat juang, perhatikan bagaimana bayi dan batita lahir, belajar berjalan, mengeksplore diri dan mainannya, serta ngotot untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Kecuali ada kelemahan fisik bawaan misalnya pada jantung dan fungsi muscular. Ketika semakin besar kreatifitas dan semangat juang itu memudar, itu karena orang-orang yang mengasuh dan mendidiknya “membunuh” kreatifitas dan semangatnya. Maka bukan kursus untuk melatih kreatifitas yang diperlukan anak tapi kursus para ortu dan pendidik untuk berhenti menjadi “pembunuh”
—————
Dulu dan sekarang, dikombinasikan secara matang….
Anak-anak jaman dahulu kebanyakan diajarkan untuk mendahulukan orang tua (biasanya ayah) terutama saat makan atau mengambil lauk.
Kebiasaan ini kemudian dituding menjadi penyebab anak-anak menjadi rendah diri, tidak berani berpendapat dll
Orang tua jaman sekarang dengan alasan bahwa anak memerlukan gizi lebih baik maka membiarkan anak mengambil lauk apa saja di meja dan orang tuanya berperan menjadi truk sampahnya.
Kebiasaan ini kemudian juga disinyalir membuat anak-anak menjadi nranyak dan sulit mendengar nasehat.
Nah lo… Trus bagaimana…?
Coba kalau dikombinasikan begini :
Anak-anak diajarkan untuk mendahulukan yang tua, “Silahkan ayah – ibu duluan”, kemudian yang tua menyayangi yang muda “Terimakasih sudah menawari ayah-ibu terlebih dahulu, kalau kakak suka yang mana?” Saat anak mengatakan suka yang “ini”, maka ayah-ibunya atas nama cinta memilih yang “itu”. “Ayah/Ibu ambil yang itu ya, kakak yang ini”
Cantik kaaan…..
Barangsiapa tidak menyayangi yang kecil dan tidak mengenali hak yang tua maka ia bukan termasuk golongan kami…
—————
Saya sering ditanya soal mengajarkan membaca atau berhitung pada balita.
Apa betul berbahaya? Apa betul menyebabkan kelelahan otak?
Hmm..
Kalau begitu jangan lagi mengajarkan lagu balonku ada lima atau satu-satu aku sayang ibu, itu kan mengajarkan berhitung..
Jika anak bertanya tanda “STOP” di jalan itu bacaannya apa, jawab saja begini “Hush.. Jangan tanya itu dulu, otakmu belum siap nak”
Anak belajar membaca atau berhitung boleh-boleh saja asal caranya FUN, menyenangkan.
Ini bukan soal Apa yang diajarkan tetapi Bagaimana mengajarkannya..
Tidak perlu HARUS bisa, tidak perlu pula ANTIPATI
Sebaik-baik urusan adalah yang dipertengahannya…
—————
Mengeluh itu Menular…
Ayah mengeluh : “Duh pekerjaan numpuk di kantor”, “Ayah ini sudah capek kerja buat kalian”, “Dasar pemimpin nggak becus”
Ibu mengeluh :”Duh setrikaan numpuk”, “Ibu ini capek, sudah kerja masih juga ngurusin PR kalian”, “Ihhh… si itu tu memang biasa tuu kayak gitu”
Maka jangan heran jika anak juga begini :
“Duh, PR kok banyak amat, susah”, “Males ah bu, capek nih”, “Gurunya ngga menyenangkan, temanku nyebelin”
Dan percakapan di rumah itu kira-kira akan menjadi Pengeluh menasehati Pengeluh untuk tidak mengeluh:
Anak : “Males ah sekolah, gurunya galak, temannya menyebalkan”
Ayah/Ibu : “Kamu ini gimana sih, ayah/ibu kan udah capek kerja untuk kamu, masa gitu aja ngeluh, guru galak itu dimana-mana ada”
Untung saja anaknya tidak menjawab begini :
“Kalau begitu, capek kerja itu juga biasalah.. kerja itu dimana-mana juga capek”..
Dan pengeluh mengeluhkan pengeluh yang lain ..
—————
Bullying, trauma anak atau trauma ortu..
Pada banyak kasus “trauma” bullying yang mampir di tempat saya, orang tua sering mengira anaknya “trauma” akibat masalah bullying yang dialaminya. Mengapa saya menulis trauma dengan tanda “..”?
Karena ternyata dalam perjalanan penanganannya, anak justru lebih trauma terhadap sikap emosional orang tuanya yang berlebihan dibandingkan kejadian “bullying” yang dialaminya.
Semua perilaku anak yang kurang ceria setelah itu dikaitkan oleh orangtuanya dengan kasus bullying yang dihadapinya. Sehingga anak melihat masalah itu menjadi sedemikian besaar, menakutkan dan membahayakan dirinya.
Orang tua sebaiknya jangan terlalu reaktif terhadap cerita anak. Seringkali ketika kesal terjadi generalisasi pada pikiran anak, sehingga muncul kata “selalu”, “semua” pada kisah yang diceritakannya.
Tanggapi dengan tenang, lakukan chunk down hingga terlihat fakta-fakta yang terlewatkan.
—————
Masih soal bullying…
Kadang ortu di rumah suka memberi panggilan-panggilan yang dikiranya lucu pada anak-anaknya, nDut alias endut, si lelet, mBul aliat gembul.. eee… begitu anak dipanggil demikian oleh kawannya di sekolah, ortu langsung emosi tiada tara.. Anak diajarkan untuk melawan dan dilabel kasus bullying. “Wah bullying ini namanya nak, kamu dibully..”
Anak menjadi bingung atas sikap tidak congruent ortunya, mengapa jika ortu yang memanggil demikian dia harus ikut tertawa sedangkan jika kawannya yang memanggil demikian dia harus tidak terima dan melawan? Anak mengalami kerancuan bereaksi hingga justru menimbulkan rasa “tidak mampu” mengelola emosinya sendiri.